Laman

Sabtu, 08 Oktober 2011

Meneladani Kerja Para Ulama di Bidang Informasi




By sabrul.jamil

kitab1.jpg
1. Pengantar
1.1. Apa yang dimaksud Bekerja di Bidang Informasi?
Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam. Kedudukannya begitu tinggi, karena merupakan panduan hidup setelah AlQuran. Selama ini kita mengenal hadits dalam bentuk kitab-kitab yang terjilid rapi, enak dibaca, dan mudah ditemukan di toko-toko buku. Namun mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa kitab-kitab tersebut dapat sampai ke tangan kita setelah melewati perjuangan dan kerja keras yang luar biasa.

Hadits, yang merupakan perbuatan dan perkataan nabi, atau perbuatan sahabat yang dikonfirmasi oleh nabi, sesungguhnya adalah kumpulan informasi. Informasi tersebut dapat sampai ke tangan kita setelah melewati proses seleksi yang ketat, melewati rangkaian manusia serta dari masa ke masa.
Proses seleksi tersebut menggunakan suatu metodologi, yang diterapkan dengan penuh disiplin. Dengan demikian, informasi yang sampai kepada kita dapat dikategorikan kualitasnya: shahih (valid), dhaif (lemah), atau bahkan maudlu (palsu, invalid).
Di samping itu, metodologi itu sendiri juga telah melewati berbagai ujian sepanjang masa. Ujian tersebut berupa serangan dan keragu-raguan yang dilakukan oleh orang-orang yang memang ingin meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam, maupun dari orang-orang Islam sendiri dengan berbagai motivasinya. Sepanjang sejarah, mulai dari masa para sahabat hingga saat ini, telah terjadi pertempuran yang tak kunjung henti antara pembela As Sunnah melawan musuh-musuhnya. Alhamdulillah, Allah senantiasa melahirkan para ulama yang mampu menjawab tantangan musuh-musuh tersebut.
Artikel berikut ini mencoba menampilkan secara singkat metodologi yang diterapkan para ulama dalam menjaga ‘kualitas informasi’ hadits, sehingga umat dapat meyakininya sebagai sandaran hukum dan panduan dalam menjalani hidup.
1.2. Mengapa artikel ini ditulis?
Artikel ini lahir dari kecintaan Penulis terhadap As Sunnah, dan kekaguman Penulis terhadap para ulama terdahulu dan kontemporer, yang telah mencurahkan upaya yang luar biasa dalam menjaga warisan berharga bagi umat ini.
Semangat dari para ulama terdahulu dan kontemporer dalam bekerja di bidang informasi, dalam hal ini menjaga informasi yang mulia yang datangnya dari Rasulullah Saw, merupakan sesuatu sungguh sepatutnya ditiru. Minimal kita dapat meneladani etos kerja mereka, lebih-lebih kecanggihan metode yang mereka gunakan.
1.3. Siapakah yang perlu membaca artikel ini?
Sebagai seorang pekerja Teknologi Informasi (TI), Penulis ingin membagi kecintaan dan kekaguman ini kepada sesama pekerja TI dan saudara muslim lainnya. Mudah-mudahan, semangat para ulama terdahulu dan kontemporer dapat mengilhami kerja-kerja kita, dan dapat memicu semangat kita untuk memberikan sumbangan yang unik bagi da’wah islamiyah.
2. Mengenal Istilah-istilah dalam Ilmu Hadits
2.1. Pengertian Hadits
Secara bahasa, kata hadits berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadim (lama, lalu) yang menjadi sifat dari kalam Allah. Secara istilah, hadits atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau. Sifat-sifat tersebut baik fisik, moral, maupun prilaku.
2.2. Istilah dalam transimisi hadits
2.2.1. Sanad
Jalur atau sistem penyampaian berita dengan menyebutkan narasumbernya disebut isnad, yang secara kebahasaan berarti menyandarkan. Karena begitu luhurnya nilai sanad, maka para ulama mengatakan bahwa pemakaian sanad itu merupakan simbol umat Islam. Bahkan Imam Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Sistem sanad ini merupakan bagian dari agama Islam. Tanpa adanya sistem sanad, setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.”
2.2.2. Rawi
Rawi adalah narasumber berita dalam rantai sanad. Rawi merupakan salah satu studi terpenting dalam studi sanad, karena darinya dapat dievaluasi positif atau negatifnya suatu hadits. Ilmu yang mempelajari rawi disebut Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu tersebut mengupas karakteristik masing-masing rawi, apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya dan sebagainya, atau ia seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.
2.2.3. Matan
Isi atau materi dari suatu hadits.
2.2.4. Marfu’
Hadits yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah

2.2.5. Mauquf
Hadits yang sanadnya bersambung sampai Sahabat
2.2.6. Mutawatir

Hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang banyak jumlahnya secara berturut-turut dalam setiap jenjangnya. Jumlah rawi-rawi tersebut, menurut sebagian besar ulama, dalam setiap jenjang tidak kurang dari sepuluh orang.

2.2.7. Ahad

Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Saw oleh satu orang sahabat atau lebih, kemudian dari mereka Hadist itu diriwayatkan oleh satu orang tabi’in atau lebih, dan demikianlah seterusnya, namun jumlah mereka dalam setiap jenjangnya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadits mutawatir.

2.3. Istilah dalam kualitas hadits

2.3.1. Shahih

Hadits dinyatakan shahih manakala memiliki kriteria berikut: Pertama. Sanadnya bersambung sampai Rasulullah. Kedua, sanadnya terdiri dari perawi yang bertaqwa dan kuat ingatannya.

2.3.2. Hasan

Hasan berarti baik. Derajatnya dibawah shahih.

2.3.3. Dhaif

Dhaif berarti lemah. Suatu hadits dinyatakan lemah apabila pada jalur sanadnya ditemukan perawi yang tidak dipercaya.
2.3.4. Maudlu

Maudlu berarti palsu. Dengan sendirinya tidak dapat dianggap hadits.

2.3.5. Muttafaqun Alaihi

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Dari berbagai istilah tersebut, kita dapat memperkirakan bahwa para sahabat dan ulama-ulama sesudahnya telah menyiapkan sejumlah metode agar hadits yang mengalir dari masa Rasulullah dapat tetap terjaga.
Perlu diketahui, sebelum terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, para sahabat tidak terlalu mempersoalkan apabila ada orang yang mengaku mendengar sesuatu dari nabi. Namun setelah terjadi fitnah besar semenjak terbunuhnya khalifah Utsman, orang mulai berhati-hati dalam menerima informasi. Sebab, banyak kelompok dan kepentingan yang tidak segan-segan menggunakan nama nabi untuk membela kepentingannya. Untuk itulah para sahabat terdekat nabi mulai mempertanyakan setiap kali menerima informasi yang diakui berasal dari nabi. Mereka merunut setiap hadits yang mereka dengar, dan meminta orang yang menyampaikan hadits tadi untuk menghadirkan saksi yang dapat dipercaya.
Perlahan-lahan, metode tadi berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Betapapun, para pakar ilmu-ilmu hadits menilai bahwa abad pertama hijriah merupakan periode pertumbuhan ilmu-ilmu hadits. Sementara sejak abad kedua sampai abad ketiga dinilai sebagai periode penyempurnaan. Sedang masa berikutnya, sejak awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat merupakan masa pembukuan. Pada masa ini para ahli hadits mulai membukukan ilmu-ilmu hadits. Misalnya, Yahya bin Ma’in menulis Tarikh al-Rijal (Sejarah Para Rawi), Ahmad bin Hanbal menulis al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (Cacat-cacat Hadits dan Mengetahui Para Rawi).
Sungguh mengagumkan dan luar biasa karya-karya ilmiah dan warisan intelektual mereka. Semua itu mereka lakukan dalam rangka seleksi hadits, agar dapat dikeluarkan hadits-hadits yang palsu dari yang shahih.
3. Metodologi Pengumpulan Hadits
3.1. Kapankah hadits pertama kali ditulis?

Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa hadits sudah mulai ditulis sejak masa Rasulullah. Meski mayoritas bangsa Arab waktu itu masih buta huruf, namun beberapa orang sahabat telah memiliki kemampuan tulis menulis. Misalnya sahabat Ali bin Abi Thalib memiliki shahifah (buku) yang selalu beliau ikatkan di pedangnya. Shahifah ini berisi hadits-hadits nabawi tentang hukum pidana, zakat, dan sebagainya. Sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud juga mempunyai kitab hadits yang beliau tulis dengan tangan beliau sendiri. Begitu pula sahabat lain seperti Sa’ad bin Ubadah, Abu Rafi’, Asma binti Umais, Samurah bin Jundub, Abdullah bin Umar, dan Jarir bin Abdullah.
3.2. Metodologi Pembukuan Hadits

3.2.1. Metode Juz’ dan Atraf

Ini termasuk metode paling awal yang digunakan dalam mengelompokkan hadits. Metode Juz berarti mengumpulkan hadits berdasarkan guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab hadits. Metode atraf adalah pembukaan hadits dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai penunjuk matan hadits selengkapnya.

3.2.2. Metode Muwatta’

Secara kebahasaan muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan secara istilah ilmu hadits, muwatta adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam, dan mencantumkan hadits-hadits marfu, mauquf, dan maqtu.

3.2.3. Metode Mushannaf

Secara kebahasaan mushannaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara istilah sama artinya dengan muwatta’.

3.2.4. Metode Musnad

Metode ini menglasifikasikan hadits berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits itu.

3.2.5. Metode Jami’

Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Kitab Jami’ adalah kitab hadits yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain.

3.2.6. Metode Mustakhraj

Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj.

3.2.7. Metode Sunan

Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata sunnah, yang pengertiannya sama dengan hadits. Sementara yang dimaksud di sini adalah metode penyusunan berdasarkan klasifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadits-hadits marfu’. Ini yang membedakan dengan metode mushannaf dan muwatta yang juga banyak mencantumkan hadits-hadits mauquf dan maqtu’.

3.2.8. Metode Mustadrak

Adakalanya penyusunan kitab hadits berdasarkan menyusulkan (append) hadits-hadits yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadits yang lain. Namun dalam menuliskan hadits-hadits susulan tersebut penulis kitab tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut.

3.2.9. Metode Mu’jam

Metode ini mengumpulkan hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet).
Kesembilan metode di atas merupakan metode yang lahir sejak dini, dimulai dari masa para sahabat.

3.2.10. Metode Majma’

Metode ini merupakan terobosan yang dilakukan semenjak kira-kira abad kelima hijri. Pada metode ini, penulis hadits menggabungkan kitab-kitab hadits yang sudah ada.

3.2.11. Metode Zawaid

Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara bersama-sama dalam kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak menuliskannya. Maka hadits-hadits jenis kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadits yang datang kemudian. Hadits-hadits ini kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan.
4. Beberapa Ibroh

4.1. Bekerja secara kolektif dan antargenerasi

Kalau kita perhatikan istilah dan metode yang digunakan oleh para sahabat dan ulama terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah hadits adalah pekerjaan kolektif, dan juga merupakan kerja antargenerasi. Dapat dikatakan, para sahabat sukses membina murid-murid mereka (para tabi’in), demikian pula para tabi’in, sukses membina para tabi’it tabi’in, dan demikian seterusnya.

Islam memang menekankan kerja kolektif (amal jama’iy). Hendaknya mereka yang mencintai Islam dan ingin menebarkan sinarnya ke penjuru dunia meneladani cara kerja ini. Bahkan lebih dari itu, para pendahulu kita menekankan betul kaderisasi.
4.2. Penggunaan teknologi terkini

Teknologi terbaik yang dapat digunakan dalam memelihara hadits pada masa nabi adalah menuliskannya di pelepah-pelepah kurma, potongan-potongan kulit binatang, dan benda-benda lain yang ada pada waktu itu. Setelah kaum muslimin membebaskan Mesir, barulah para ulama mengenal kertas.

Sementara itu, sebagian besar sahabat adalah orang-orang tidak bisa baca tulis. Hanya sebagian kecil yang dapat bacat tulis, yang kemudian memiliki kesadaran untuk menuliskan hadits.

Kalau kita analogikan dengan jaman sekarang, sebagian besar bangsa kita adalah orang-orang yang tidak ‘melek’ TI. Hanya segelintir muslim yang memiliki penguasaan TI yang baik.
Spirit yang dapat diambil, setidaknya, harus ada sebagian dari umat ini yang terus menerus meningkatkan kemampuan dan menguasai teknologi terkini. Selain itu, belajar dari pendahulu kita, semestinya kita mampu mengambil suatu peran nyata yang unik, yang sesuai dengan bidang kemampuan kita.
4.3. Ketekunan dan Kreatifitas dalam metode pengklasifikasian hadits

Sebagaimana telah disampaikan di atas, para ulama memiliki ketekunan dan kreatifitas yang luar biasa dalam mengklasifikasikan hadits. Padahal cara yang dilakukan sangat manual. Diperlukan waktu yang tentu saja tidak singkat untuk menelusuri ribuan hadits dan kemudian mengelompokkannya sesuai dengan kategorinya, dan menuliskannya kembali.

Pada saat ini, persoalan mengelompokkan bisa diselesaikan hanya dengan menjalankan sejumlah query. Merupakan tantangan besar bagi kita untuk memberikan sesuatu yang baru bagi umat ini, dengan limpahan kemudahan yang Allah berikan kepada kita.

Mungkin perlu dipertimbangkan pengembangan kerja sama antara ulama-ulama yang menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan para pekerja TI, sehingga berbagai khazanah keislaman dapat lebih ternikmati.
4.4. Penghargaan terhadap warisan intelektual

Kecintaan para ulama terhadap ilmu tidak diragukan lagi. Ekspresinya bukan hanya lewat penyerapan warisan intelektual, namun juga lewat lahirnya berbagai karya baru dan terobosan intelektual.

Umat Islam saat ini sesungguhnya memiliki lebih banyak fasilitas yang memudahkan dibandingkan para generasi awal. Jika saat ini kita belum mampu melahirkan karya-karya berarti, agaknya hal itu lebih disebabkan kelalaian kita sendiri.
Penulis mengajak kepada diri sendiri dan para pembaca untuk selalu bertanya kepada diri sendiri, apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemajuan umat ini. Sesungguhnya nilai kita di mata Allah adalah sejauh mana kita sudah bermanfaat bagi orang lain.
Wallahu a’lam bishshowwab
Referensi: 
1. Kritik Hadits, Ali Mustafa Ya'qub

PERAN GURU DALAM MEMBANGKITKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA


Oleh M. Sobry Sutikno

Pembelajaran efektif, bukan membuat Anda pusing, akan tetapi bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah dan menyenangkan. - M. Sobry Sutikno -


Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.

Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.

Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
• Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.

Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.

Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:

1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.

5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.

6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.

7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran

*Penulis adalah Direktur Eksekutif YNTP for research and Development Kabupaten Sumbawa Barat – NTB (Tode Dasan, Desa Dasan Anyar, Kecamatan Jereweh, KSB)

Kamis, 06 Oktober 2011

Nasihat dari Siswa untuk Guru


Nasihat dari Siswa untuk Guru

Seorang guru pasti merasa sedih bila ada siswa tidak memperhatikannya saat mengajar. Dia merasa tidak dihargai oleh siswanya karena saat dia mengajar siswanya malah asyik mengobrol atau bermain dengan temannya. Bahkan karena sebab itu ada beberapa oknum guru yang tega melakukan kekerasan fisik maupun psikologis kepada anak didiknya. Apa benar tindakan yang dilakukan guru itu?
Eits, tunggu dulu. Seorang guru tidak mungkin jadi guru jika dia tidak sekolah. Jadi tentu saja seorang guru pernah merasakan suka dukanya menjadi seorang siswa. Seorang guru tentu saja pernah merasakan apa yang dialami oleh siswanya.
Apa anda (seorang guru) pernah merasa bosan mengikuti pelajaran saat anda dulu menjadi siswa? Saya rasa anda pasti sudah pernah merasakannya. Jika bosan mendengar guru yang sedang mengajar di depan kelas ada banyak pilihan kegiatan yang dapat siswa lakukan, antara lain mengobrol dengan teman sebangku, menjahili teman lain, makan, tidur, ataupun pergi meninggalkan kelas secara diam-diam. Itu semua perilaku “wajar” yang dialami oleh siswa-siswa sekolah diseluruh dunia.
Jadi apa hal tersebut harus dibiarkan begitu saja? Ya jangan dong. Begini ya Pak/Bu guru. Siswa-siswa anda itu tidak senang bila terus-terusan diceramahi. Ceramah yang dilakukan dari jam pertama sampai jam terakhir tentu saja membuat siswa bosan. Oleh karena itu buatlah kegiatan yang menarik saat pembelajaran, contohnya bermain dengan siswa, tebak-tebakan, atau mengadakan lomba saat pelajaran.
Tidak hanya itu Pak/Bu guru, siswa sekali-kali juga pingin lho ngomong di depan kelas. Jadi ada baiknya jika sekali-kali mereka yang jadi “guru”. Memang sih pada awalnya mereka akan malu-malu, tapi lama kelamaan pasti mereka tambah berani dan percaya diri.
Begitu lho Pak/Bu guru. Eh kok malah saya yang jadi nyeramahin Bapak/Ibu guru ya?
Ya sudah. Sekian saja surat dari saya ya. Semoga bertemu lagi…